https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

#3 Cahaya 1

Minggu, 09 Desember 2018
          Malam semakin menenggelamkan seluruh isi kampung. Temaram lampu masih menyala di salah satu bingkai jendela rumah kos kontrakan. Rumah yang dihuni beberapa mahasiswa suatu sekolah tinggi yang tak jauh dari rumah itu. Salah satu penghuninya, Waki' mengerjapkan penglihatannya yang semakin tipis. Kantuk telah merasuk ke matanya, dan menjalar perlahan tapi pasti mulai dari kepalanya terus berlanjut ke sekujur tubuhnya. Waki' sedang duduk di atas hamparan karpet ruang tamu. Lampu temaram lima watt terkurung dalam kap lampu kerajinan kayu menambah suasana ingin segera terlelap, mengembara di alam mimpi.

         Dalam kantuknya, Waki' masih mampu berfikir betapa beruntungnya ia. Semua telah Waki' dapatkan. Pergaulan yang luas, teman yang banyak, pengetahuan akan segala hal dari yang paling buruk sampai pada yang paling canggih. Waki' adalah seorang anak muda yang tidak pernah ketinggalan zaman dan selalu mengikuti trend . Waki' seorang mahasiswa yang lumayan cerdas pada angkatannya. Waki' disukai oleh teman-temannya karena ia terkenal bengal tetapi pintar. Waki' juga tidak miskin. Waki' difasilitasi mobil khusus oleh orang tuanya untuk kegiatan sehari-hari, pergi kuliah.

       Waki' tidak tahu pukul berapa sekarang. Jangankan menengok ke arah jam yang terletak di atas meja, melirikpun Waki' malas. Waki' melihat teman-temannya sudah terkapar dalam tidurnya. Entah mereka sudah sampai di galaksi mana. Tinggal Waki' sendiri yang masih terjaga di alam nyata. Pikirannya menerawang entah kemana, Waki' ikuti saja arus pikirannya itu.

       Antara sadar dan tidak sadar, entah mimpi atau bukan, lamat-lamat Waki' mendengar seperti suaranya sendiri, “Eh, Ki' lagi ngapain sih?”.


Suara itu begitu menghentak sehingga Waki' sangat terkejut. Suara itu tidak keras tapi sungguh telah menyentaknya. Waki' merasa kata-kata suara itu berkonotasi bahwa ia telah melakukan hal yang sia-sia belaka. Suara itu seakan-akan memergokinya. Suara itu adalah suara Waki' sendiri yang telah lama ia kenal puluhan tahun yang lalu. Sekarang ia berjumpa lagi dengan Waki' seperti perjumpaan antara dua sahabat lama.

       “Kamu tanya aku?” Waki' berbalik bertanya setengah kurang percaya bahwa suara itu tertuju kepadanya.

       “Iya, kepada siapa lagi?” jawab suara itu meyakinkan diri Waki'.

       “Lagi ngantuk , emang kenapa?” jawab Waki' agak ketakutan, di malam sepi begini mengapa ada suara-suara itu.

       “Aku datang menagih janji kepadamu,” suara itu mengubah arah pembicaraan. Agaknya inilah maksud dia yang sebenarnya mengapa datang kepada Waki'.

       “Janji apa?” tanya Waki' terheran-heran. Agaknya Waki' tidak pernah berjanji apa-apa kepada suara yang seperti suaranya itu. Tetapi Waki' berusaha mencoba mengingat-ingat kembali. Waki' hanya ingat bahwa ia pernah bertemu dengan suara itu tadi, entah berapa tahun yang lalu dan dimana.

       “Bukankah kamu pernah berjanji padaku bahwa, kamu ingin menjadi dirimu yang sebenarnya?” suara itu menegaskan dan mengingatkan kepada Waki'

       “Apa benar aku janji seperti itu? Dimana? Kapan?” Waki' balas bertanya.

       Suara itupun 'nerocos' begitu saja bercerita, “15 tahun yang lalu, di Bumi Rafflesia, komplek NI, kilometer tiga setengah, hari Jum’at, pukul 12 siang. Ketika itu kamu sedang bermain di halaman rumahmu setelah pulang sekolah. Kamu melihat temanmu yang tinggal di rumah bersebelahan dengan rumahmu sedang berjalan memakai sarung. Dia lewat di depan rumahmu. Lalu kamu bertanya kepadanya, ‘Eh, endak kemano? ‘

Diapun menjawab singkat, ‘Sholat Jum’at.’

Aku ada disana waktu itu, kemudian akupun bertanya kepadamu, ‘Mengapa kamu tidak pergi sholat Jum’at juga? khan kamu orang Islam?’

       ‘Mana aku tahu …,’ jawabmu merasa terpojok.

       ‘Sekarang aku beritahu supaya kamu tahu, bahwa orang Islam harus sholat.’

       ‘Oo… begitu ya, mengapa aku tidak tahu ya?‘ jawabmu lagi makin heran.

       ‘Iya memang kamu tidak tahu, karena kamu dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga abangan . Bahkan sebagian saudara-saudara ibu dan ayahmu beragama Kristen. Ada juga yang beragama Kejawen, sehingga wajar kalau kamu sampai umur 9 tahun ini tidak tahu menahu tentang Islam .‘

       ‘Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Kemana tempat aku bertanya tentang agamaku sedangkan sekelilingku abangan semuanya,’ tanyamu seraya meminta nasehat.

       ‘Lakukan apa yang sanggup kamu lakukan.’

       ‘Tidak!’ bantahmu keras.

       ‘Kenapa tidak?’

       ‘Maksudku, aku tidak mau cukup sampai pada apa-apa yang mampu aku lakukan. Tetapi aku berjanji pada suatu saat nanti, kalau Allah memberi kesempatan dan kekuatan padaku, aku akan mempelajari apa-apa yang harus aku ketahui. Dan itu merupakan keselamatan bagiku pada waktu sebelum dan setelah aku mati.’ Janjimu dengan berapi-api.

Masih ingatkah kamu dengan kata hatimu yang dulu kamu telah ikrarkan kepadaku? Apakah kamu sudah lupa dengan itu semua?” suara itu bicara terus tanpa memberi kesempatan kepada Waki' untuk membantah, bahkan bertanya sekalipun.

       Suara itu seolah-olah menggema dan menggantung di langit-langit rumah. Lambat laun Waki' mulai ingat kejadian itu. Ingatannya makin lama makin terang benderang. Bagaikan kabut pagi hari yang mulai menipis berganti dengan terang surya. Kejadian itu seolah-olah video dokumenter yang telah lama disimpan dalam lemari besi pengaman, dan sekarang sedang diputar ulang. Jelas sekali. Kejadian itu memang telah tergores begitu tajam di sanubariku. Sehingga begitu tersingkap, seakan-akan terlihat jelas sekali di depan mata.

Semenit, dua menit, tiga menit. Waki' terbawa ingatan masa lalunya. Suara jangkrik malam berderik-derik di luar sana.

       “Eh, kok ngelamun? Bagaimana? Mau bayar janjimu apa tidak?” tagih suara itu menghentikan perjalanan jiwa Waki' ke masa lalu. Ingatan masa lalunya mendadak buyar berantakan.

       “Eeemm…, bagaimana ya?” Waki' tersentak gugup.

      “Lho kok bagaimana? Kapan lagi? Aku sudah menunggu terlalu lama,” desak suara itu lagi.

       “Tapi sepertinya aku belum siap. Mengapa kamu datang begitu tiba-tiba? Mengapa kamu tidak memberi tahu kepadaku jauh-jauh hari sebelumnya?” Waki' berkilah seperti orang berhutang menghindar dari wajibnya membayar hutang.

       “Ingatlah bahwa kematian akan datang tiba-tiba pula,” ancam suara itu, mulai bercampur jengkel.

       Tiba-tiba di belakang Waki' ada suara lain, sangat keras, bahkan lebih keras menyentak, “Jangan hiraukan dia Ki'!”

       Waki' terkejut setengah mati. Ia berpaling ke belakang. Waki' tidak melihat siapa-siapa kecuali dirinya sendiri yang masih terjaga dan teman-temannya yang telah terlelap. Suara itu mirip suara Waki' juga tetapi mempunyai karakter agak kasar.

       “Hai! kamu lagi…, pergi kau dari sini!” suara yang pertama datang kepada Waki' terperanjat mendengar suara yang kasar itu. Dia sepertinya mengenal sekali suara yang kasar itu.

       “Waki' jangan dengarkan dia. Kalau kamu ikuti dia kamu mungkin di dunia ini akan hidup enak, tetapi setelah mati kamu akan celaka selama-lamanya. Tapi kalau kamu ikuti aku, walaupun di dunia hidupmu sengsara, tapi nanti di akhirat sudah jelas dan pasti kamu akan enak selama-lamanya. Dan lagi di dunia ini kamu khan belum tahu hidupmu enak atau tidak. Yang pasti pasti aja deh!” lanjut suara yang pertama menebar pengaruh kepada Waki' seraya menasehatinya.

       “Heh …! apa urusanmu? Waki' khan sahabatku selama ini, dia adalah aku dan aku adalah dia. Harusnya kamu yang enyah dari sini!” bantah suara yang kasar dengan kekasarannya yang makin kasar.

       “Waki' kita khan sahabat. Apa kamu tega mengkhianati persahabatan yang sudah kita pupuk begitu lama. Kalau kamu terus bersamaku niscaya kamu akan enak terus. Soal kabar-kabar setelah mati belum tentu benar. Kalau mau yang pasti pasti aja, ya… ini lihat saja yang di hadapanmu. Nggak usah jauh-jauh mikirnya, kurang kerjaan!” tambah suara yang kasar berusaha lanjut mempengaruhi Waki'.

       “Tidak! sekarang aku tidak mau kalah lagi dengan kamu! Sekaranglah saatnya aku merebut yang dari awal sebenarnya milikku,” kata suara yang pertama mulai mengarah menantang berseteru.

       “Silahkan kalau berani!” tantang suara yang kasar, dan menyambut aksi suara yang pertama.

       “Aku berani…”

       “Kurang ajar…”

       “ …”

       “…”

       Malam semakin larut. Kantuk semakin menguasai Waki. Matanya semakin berat. Kesadaran Waki' kian lenyap.

       “Waki'… kembali…kepadaku…,” sayup-sayup Waki' terakhir mendengar suara yang pertama di antara gemuruh pertikaian dengan suara yang kasar di tengah malam yang semakin pekat.

Setelah itu Waki' tidak mendengar apa-apa lagi.

* * *

       Pagi yang cerah. Burung-burung peliharaan induk semang rumah kontrakan kos berkicau ramai dalam sangkarnya. Waki' baru saja bangun dari tidurnya. Waki' mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Waki melihat teman-temannya sudah bangun pula. Waki' perhatikan teman-teman satu rumah kontrakan kosnya satu-persatu. Mereka rata-rata bukan teman-teman yang baik. Waki' tahu betul itu. Ada yang tidak sholat, kalaupun ada yang sholat, sholatnya "bolong-bolong". Bahkan mereka ada yang kerjanya mabuk-mabukan, main judi dengan modal uang kuliah dari orang tuanya. Rusak.

          Waki' memanggil Tris, salah satu teman kosnya di rumah itu.

         "Tris, aku mau pindah kos.”(SsS)

* * *


Author

www.sketsarumah.com

Sederhana itu Lebih - Less is More. Desain bukanlah menambah-nambah biar berfungsi, tetapi desain adalah menyederhanakan agar berdaya guna.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...