Sore itu, saat
matahari mulai redup, mahasiswa-mahasiswapun telah lenyap dari
hiruk-pikuk perkuliahan. Jalan umum di belakang komplek sekolah
tinggi terasa lenggang, hanya sesekali kendaraan beroda dua melintas.
Waki' berjalan kaki di jalan itu menuju suatu rumah kos yang terletak
di tepi jalan itu. Jarak dari rumah kos Waki' yang lama, hanya
setendangan bola yang paling jauh di suatu lapangan bola. Waki'
mempercepat langkahnya, seolah-olah ia ingin segera meninggalkan
teman-teman lamanya. Telah lama sekali, ia telah menelantarkan
janjinya pada dirinya. Waktunya semakin sedikit. Oi, mana tahu Waki'
kapan mati. Waki' harus berlomba dengan waktu, waktu bagaikan pedang.
Jika ia lengah, maka waktu akan memangkasnya.
Tanpa terasa, Waki'
telah berdiri di depan gerbang rumah kos
itu. Rumah kos baru yang sering Waki' lihat ketika sering melewati
jalan itu. Jalan itu adalah jalan menuju rumah kosnya yang lama.
Dahulu, Waki' tidak terpikir sama sekali akan pindah ke rumah kos
yang ada di hadapannya sekarang. Karena apa ? Karena rumah kos itu
kosong tanpa penghuni. Mungkin karena baru, atau memang tidak ada
mahasiswa yang berani mengawali untuk menghuni disitu. Tapi sejak
Waki' berubah pikirannya seratus delapan puluh derajat dalam memaknai
hidup ini, maka justru rumah kos yang seperti inilah yang ia cari.
Waki' ingin ketenangan, tepatnya menenangkan diri. Ia ingin
menyendiri dan banyak-banyak merenung. Jika Waki' tahu harus
bagaimana waktu itu, mungkin ia sudah memutuskan untuk berhenti
kuliah dan "nyantri" di suatu pondok pesantren. Ah,
sudahlah. Yang di atas Langit lebih tahu yang terbaik untuk Waki'.
Tinta telah kering, semua telah tertulis di catatan taqdir-taqdir.
Rumah kos itu
terletak di atas sebidang tanah yang
memanjang ke belakang. Berkisar sembilan meter lebar depan, sedangkan
ke belakang sangat panjang. Waki' tak bisa mengira-ngira. Bangunan
rumah kos dua lantai itu berbentuk huruf U, mengelilingi sebuah taman
terbuka di bagian tengah lahan tersebut. Semua kamar kos di rumah itu
masih baru dan masih kosong semua.
Waki' masuk
ke halaman rumah kos itu, dan disambut penjaga rumah kos yang
ternyata seorang anak muda.
"Silahkan bang,
mau cari kamar kos ?" sambutnya dengan ramah. Waki' mengangguk
sambil tersenyum. Sejak kejadian entah di
alam mimpi atau di alam bawah sadar Waki', Waki' bukanlah lagi
seorang yang bengal, ia telah mengubah dirinya menjadi orang yang
santun, ramah dan berusaha menjaga sikap. Karena, Waki' yakin dan
percaya, jika ia berusaha menjadi baik, maka kebaikan-kebaikan akan
datang dengan sendirinya kepadanya seperti tersedot magnet yang kuat.
"Saya
bisa lihat yang di lantai atas ?" tanya Waki' sembari
mendongakkan kepala dan matanya memberi isyarat ke lantai atas rumah
kos itu. Waki' punya ide, jika ia tinggal di kamar lantai atas tentu
lebih tenang suasananya. Penjaga rumah kos tersenyum memberi isyarat
tangan, silahkan.
Benar saja,
sesampainya di lantai atas, Waki' langsung menjatuhkan pilihan kamar
yang berada di sisi Barat. Rumah kos
tersebut menghadap ke Selatan. Kamar berukuran tiga meter kali empat
meter dengan kamar mandi di dalam itu cukup nyaman. Tak ada ruang
makan, ruang tamu dan dapur layaknya rumah kos kontrakan Waki' yang
lama. Sempit memang, akan tetapi untuk apa tempat tinggal luas, namun
hati sesak dan sempit. Lebih baik, tempat tinggal sempit tetapi hati
lapang, luas dan segar.
Maka, pada sore
itu juga, Waki' mulai memindahkan barang-barangnya sedikit demi
sedikit dari rumah kos kontrakan yang lama menuju kamar kosnya yang
baru. Makin cepat, makin bagus. Waki' sangat takut kembali ingin
bersama-sama temannya, yang hal itu akan menghalangi dirinya untuk
berubah menjadi dirinya sendiri.
"Pindahan sekarang
Ki', serius nih ?" Tris bertanya terheran-heran.
Waki' hanya tersenyum
sambil mengangkuti barang-barangnya.
***
Telah
beberapa hari Waki' tinggal di kamar kos yang baru. Beberapa hari
pula Waki' bingung apa yang harus ia lakukan. Suasana
baru yang sepi dari teman-teman lamanya membuat canggung dirinya.
Terkadang, apabila ia bosan di dalam kamar, Waki keluar dari
kamarnya. Waki' duduk-duduk di teras lantai atas. Ada semacam balkon
luas yang disediakan di rumah kos itu. Waki' melempar pandangan ke
taman di bawah, ke jalan di depan rumah kos dan menerawang masa
lalunya yang tidak jelas mau kemana. Ia kini selalu ingat kematian.
Nampak jelas dalam hidup yang ia jalani, dan sering ia dengar
berita-berita kematian. Kemanakah orang-orang yang telah mati itu ?
Waki' merasa lambat laun menuju kesana, ke momen kematian itu. Ia
pasti akan merasakannya. Karena ia yakin setiap makhluq bernyawa di
dunia ini pasti mengalaminya. Waki' tidak pernah mendengar ada
makhluq di dunia ini yang hidup terus abadi. Kemanakah kalian wahai
orang-orang yang telah mati ?
Sore itu,
angin lembut membelai permukaan kulit. Setelah
melakukan kegiatan perkuliahan pagi sampai siang, seperti biasa Waki'
duduk termenung di balkon rumah kosnya. Pikirannya menerawang
kembali. Tanpa kesimpulan. Lalu, dia masuk ke kamarnya, berbaring di
tempat tidur. Pandangannya masih menerawang. Tiba-tiba mata Waki'
tertuju pada suatu buku yang ia letakkan di atas meja kecil di
samping tempat tidurnya. Buku kecil namun tebal dengan "cover"
dari plastik lentur berwarna biru. Waki' ingat, buku itu hadiah dari
kakaknya ketika ia berulang tahun entah yang ke berapa.
Waki'
meraih buku itu, ia baca judulnya yang ada di "cover" nya.
"Al Qur'an dan Terjemahannya".
Iya memang, Waki' sudah sering lihat buku itu tergeletak di atas meja
manapun yang ada di kamarnya. Entah di kamar kos yang lama, atau di
kamar di rumahnya sendiri, tapi sering pula ia tidak tertarik untuk
membacanya. Akan tetapi, Waki' merasa selalu butuh membawa buku itu
kemanapun ia tinggal. Ia juga tak tahu mengapa. Mungkin janji pada
dirinya ketika usia sebelas tahun itulah begitu menghujam dalam
sanubarinya, sehingga Waki' merasa harus mempunyai pegangan hidup
yang sewaktu-waktu dapat ia gunakan sebagai petunjuk.
Waki'
membaca huruf demi huruf buku Al Qur'an dan Terjemahannya. Dari
Daftar Isi, kemudian Bab Satu : Sejarah Al Qur'an, lalu Bab Dua :
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallama, dan ... pada sub Bab
Perlunya Al Qur'an diturunkan, Waki' terperanjat. Waki' baru faham
ternyata agama-agama lain selain Islam telah kadaluarsa. Dan,
agama-agama itu hanya untuk kaumnya saja, bukan untuk seluruh umat
manusia. Semua agama-agama itu telah diganti dengan agama untuk
seluruh umat manusia, yaitu Islam. Yang Maha Pencipta itu hanya satu,
dan itu diakui oleh seluruh agama ataupun seluruh manusia. Maka,
tidak mungkin Dia yang Maha Pencipta menurunkan aturan berbeda-beda
untuk seluruh umat manusia di akhir zaman ini. Untuk itulah Al Qur'an
diturunkan, dan Islam sebagai agama seluruh umat manusia. Subhanallah
! Waki' baru mengerti dan paham ini. Sebelumnya, ia masih memahami
bahwa semua agama sama baiknya, tujuannya baik semua. Jadi, siapapun
dia boleh memilih agama dan keyakinan manapun, yang penting tujuannya
baik semua. Rupanya, Waki' memahami hal yang menyesatkan, yang
mungkin juga diyakini oleh orang-orang yang tidak mengetahui tentang
hal ini.
Sungguh,
sore ini Yang di Atas Langit sana telah memberi pengetahuan dan
petunjuk pada Waki' melalui buku yang telah
dibawa kemanapun ia pergi. Seolah-olah seberkas cahaya ilmu telah
melesat menerobos masuk ke dalam kalbu Waki'. Kegelapan dan kesesatan
telah berganti terangnya jalan menuju jalan yang lurus.
Mudah-mudahan.
Waki'
berpikir, kalau demikian selain Islam
betapa kasihannya mereka. Kemudian, akhirnya Waki' sangat bersyukur
dan bahkan banyak-banyak bersyukur, karena ia telah dilahirkan dalam
keadaan menjadi muslim. Taqdir dari atas langit telah memutuskan
Waki' telah keluar dari kandungan ibunya yang muslimah dan dari
ayahnya yang muslim pula. Waki' tidak perlu bersusahpayah untuk
mencari agama yang benar.
Setelah
menyelesaikan bacaan bab dua buku tersebut,
Waki' berhenti sejenak. Pikirannya kembali menelusup awang-awang.
Waki' merasa ada sesuatu masalah lain yang sedang menghadangnya.
Kemanakah ia hendak mengetahui tentang Islam ? Waki' berpikir
lagi.Yang terbayang dalam benak Waki', Islam ya identik dengan
masjid. Apakah ke masjid terdekat ? Atau di masjid kampus, atau
kemana ?
Sejenak,
Waki teringat dahulu ketika masih sekolah di Sekolah Menengah Atas,
ia pernah mendengar seorang teman
perempuannya memakai jilbab ketika di sekolah. Teman perempuan itu,
sering mendapat cemoohan teman-teman yang lain. Karena, seingat Waki'
waktu itu hanya dia yang memakai jilbab dari seluruh murid-murid
perempuan satu sekolah. Lalu, Waki' ingat bahwa ia sering melihat
berita-berita televisi di rumahnya tentang kelompok Islam ini,
kelompok Islam itu, dan berita tentang kesulitan-kesulitan bagi
orang-orang Islam yang sepertinya mereka ingin bersungguh-sungguh
dalam memegang Islam sebagai prinsip hidup mereka. Bahkan, sering
lagi Waki' melihat berita-berita kekerasan, pembunuhan, dan terorisme
seputar dunia Islam. Kembali timbul pertanyaan dalam kalbu Waki',
apakah sesulit itu ? Apakah dia akan bertemu dengan kelompok-kelompok
Islam yang begitu banyak ? Mengapa Waki' menjadi bingung ? Ya Allah
berilah Waki' petunjuk.
Setelah,
hilang kebingungan Waki' akan agama mana
yang paling benar. Kini, timbul kebingungan baru tentang Islam
manakah yang paling benar atau yang paling mencocoki dengan apa yang
telah dipahami dan dilakukan Nabi dalam Islam yaitu Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallama. Waki' yakin bahwa pasti ada
segolongan orang Islam yang berusaha mencocoki kebenaran. Dan,
sepertinya semua kelompok pasti mengakui yang paling benar. Belum
lagi, Waki' membayangkan akan menghadapi hal-hal yang sulit, hal-hal
berbau kekerasan, dan segala hal yang akan ia hadapi ketika
momen-momen mengetahui dan mempelajari Islam. Akan tetapi, dalam
benak Waki' tidak ada pilihan lain. Jika itu yang harus ia jalani,
bagaimanalah lagi ? Tekad Waki' sudah bulat, hidup hanya sekali, ia
harus menemukan jalan keselamatan, bukan jalan menuju kesengsaraan
esok lusa di negeri setelah kematian. Ke Syurga, bukan ke Neraka.
Tentang
Syurga dan Neraka, ingatan Waki' tiba-tiba
teringat buku cerita yang pernah ayahnya belikan ketika kelas satu
SD. Tentang seorang yang sholeh yang akhirnya mendapat nikmat kubur,
kiamat, mudah ketika di padang Mahsyar, mendapat buku catatan amal
dengan tangan kanan, amalan baiknya lebih berat, mudah melewati
jembatan Shiroth, dan akhirnya masuk Syurga dengan berbagai
kenikmatannya. Waki' ingat pula dalam cerita itu ada seorang yang
jahat yang akan menerima kesengsaraan-kesengsaraan ketika dicabut
nyawanya, mendapat siksa kubur, sengsara di padang Mahsyar, timbangan
amal kejelekan yang lebih berat, menerima catatan amal dengan tangan
kiri, dan jatuh ke dalam Neraka ketika menyebrangi jembatan Shiroth.
Cerita itu terpampang begitu jelasnya di depan matanya. Sehingga,
makin meneguhkan dirinya untuk bersungguh-sungguh mencari jalannya.
Lalu,
Waki' ingat kembali pada pikirannya tadi,
bahwa jalan yang akan ia tempuh bukanlah jalan yang mulus. Jalan yang
akan Waki' arungi adalah jalan yang akan penuh rintangan aral
melintang. Waki' harus siap menghadapi semua itu. Waki' harus
mempersiapkan dirinya.
Waki'
dari kecil bukanlah pribadi yang kuat.
Waki' dahulu adalah anak kurus yang pendiam, rendah diri dan tidak
percaya diri. Waki' bukanlah sosok pribadi yang berkarakter. Waki'
ingat kembali masa-masa sekolah dahulu, ia berkali-kali menjadi
bulan-bulanan teman-temannya. Beberapa kali, Waki' pernah 'dikerjain'
teman-temannya yang bengal. Ia pernah ditampar temannya di jalan
menuju pulang ke rumah ketika kelas tiga SMP, pernah dipukul juga
ketika kelas satu SMA di dalam kelas oleh temannya yang tidak naik
kelas dua. Bahkan, Waki' pernah dipukuli oleh teman-teman bengal
kelas tiga SMA ketika ada acara naik gunung, di atas gunung itulah ia
dipukuli. Padahal, Waki' tidak salah apa-apa, hanya karena badannya
'cungkring' dan teman-temannya itulah yang 'sok jago'. Waki'
menyesal, ini semua karena ia tidak pernah diajari oleh orang tuanya
untuk membela diri. Ia tidak tahu menahu bagaimana menghadapi
situasi-situasi seperti itu.
Demi
mengingat masa-masa Waki' yang selalu
dizhalimi teman-temannya, dan sekarang ia akan menerjang jalan yang
penuh dengan onak dan duri, Waki' berniat sungguh-sungguh untuk
membekali diri. Ia musti mencambuk dirinya dengan belajar bela diri.
Ya ! Waki' mau tidak mau musti belajar ilmu itu. (SsS)
***
0 komentar