https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

#4 Cahaya 2

Minggu, 09 Desember 2018

           Sore itu, saat matahari mulai redup, mahasiswa-mahasiswapun telah lenyap dari hiruk-pikuk perkuliahan. Jalan umum di belakang komplek sekolah tinggi terasa lenggang, hanya sesekali kendaraan beroda dua melintas. Waki' berjalan kaki di jalan itu menuju suatu rumah kos yang terletak di tepi jalan itu. Jarak dari rumah kos Waki' yang lama, hanya setendangan bola yang paling jauh di suatu lapangan bola. Waki' mempercepat langkahnya, seolah-olah ia ingin segera meninggalkan teman-teman lamanya. Telah lama sekali, ia telah menelantarkan janjinya pada dirinya. Waktunya semakin sedikit. Oi, mana tahu Waki' kapan mati. Waki' harus berlomba dengan waktu, waktu bagaikan pedang. Jika ia lengah, maka waktu akan memangkasnya.

          Tanpa terasa, Waki' telah berdiri di depan gerbang rumah kos itu. Rumah kos baru yang sering Waki' lihat ketika sering melewati jalan itu. Jalan itu adalah jalan menuju rumah kosnya yang lama. Dahulu, Waki' tidak terpikir sama sekali akan pindah ke rumah kos yang ada di hadapannya sekarang. Karena apa ? Karena rumah kos itu kosong tanpa penghuni. Mungkin karena baru, atau memang tidak ada mahasiswa yang berani mengawali untuk menghuni disitu. Tapi sejak Waki' berubah pikirannya seratus delapan puluh derajat dalam memaknai hidup ini, maka justru rumah kos yang seperti inilah yang ia cari. Waki' ingin ketenangan, tepatnya menenangkan diri. Ia ingin menyendiri dan banyak-banyak merenung. Jika Waki' tahu harus bagaimana waktu itu, mungkin ia sudah memutuskan untuk berhenti kuliah dan "nyantri" di suatu pondok pesantren. Ah, sudahlah. Yang di atas Langit lebih tahu yang terbaik untuk Waki'. Tinta telah kering, semua telah tertulis di catatan taqdir-taqdir.

          Rumah kos itu terletak di atas sebidang tanah yang memanjang ke belakang. Berkisar sembilan meter lebar depan, sedangkan ke belakang sangat panjang. Waki' tak bisa mengira-ngira. Bangunan rumah kos dua lantai itu berbentuk huruf U, mengelilingi sebuah taman terbuka di bagian tengah lahan tersebut. Semua kamar kos di rumah itu masih baru dan masih kosong semua.


          Waki' masuk ke halaman rumah kos itu, dan disambut penjaga rumah kos yang ternyata seorang anak muda.

          "Silahkan bang, mau cari kamar kos ?" sambutnya dengan ramah. Waki' mengangguk sambil tersenyum. Sejak kejadian entah di alam mimpi atau di alam bawah sadar Waki', Waki' bukanlah lagi seorang yang bengal, ia telah mengubah dirinya menjadi orang yang santun, ramah dan berusaha menjaga sikap. Karena, Waki' yakin dan percaya, jika ia berusaha menjadi baik, maka kebaikan-kebaikan akan datang dengan sendirinya kepadanya seperti tersedot magnet yang kuat.

          "Saya bisa lihat yang di lantai atas ?" tanya Waki' sembari mendongakkan kepala dan matanya memberi isyarat ke lantai atas rumah kos itu. Waki' punya ide, jika ia tinggal di kamar lantai atas tentu lebih tenang suasananya. Penjaga rumah kos tersenyum memberi isyarat tangan, silahkan.

          Benar saja, sesampainya di lantai atas, Waki' langsung menjatuhkan pilihan kamar yang berada di sisi Barat. Rumah kos tersebut menghadap ke Selatan. Kamar berukuran tiga meter kali empat meter dengan kamar mandi di dalam itu cukup nyaman. Tak ada ruang makan, ruang tamu dan dapur layaknya rumah kos kontrakan Waki' yang lama. Sempit memang, akan tetapi untuk apa tempat tinggal luas, namun hati sesak dan sempit. Lebih baik, tempat tinggal sempit tetapi hati lapang, luas dan segar.

          Maka, pada sore itu juga, Waki' mulai memindahkan barang-barangnya sedikit demi sedikit dari rumah kos kontrakan yang lama menuju kamar kosnya yang baru. Makin cepat, makin bagus. Waki' sangat takut kembali ingin bersama-sama temannya, yang hal itu akan menghalangi dirinya untuk berubah menjadi dirinya sendiri.

         "Pindahan sekarang Ki', serius nih ?" Tris bertanya terheran-heran.

          Waki' hanya tersenyum sambil mengangkuti barang-barangnya.

***

          Telah beberapa hari Waki' tinggal di kamar kos yang baru. Beberapa hari pula Waki' bingung apa yang harus ia lakukan. Suasana baru yang sepi dari teman-teman lamanya membuat canggung dirinya. Terkadang, apabila ia bosan di dalam kamar, Waki keluar dari kamarnya. Waki' duduk-duduk di teras lantai atas. Ada semacam balkon luas yang disediakan di rumah kos itu. Waki' melempar pandangan ke taman di bawah, ke jalan di depan rumah kos dan menerawang masa lalunya yang tidak jelas mau kemana. Ia kini selalu ingat kematian. Nampak jelas dalam hidup yang ia jalani, dan sering ia dengar berita-berita kematian. Kemanakah orang-orang yang telah mati itu ? Waki' merasa lambat laun menuju kesana, ke momen kematian itu. Ia pasti akan merasakannya. Karena ia yakin setiap makhluq bernyawa di dunia ini pasti mengalaminya. Waki' tidak pernah mendengar ada makhluq di dunia ini yang hidup terus abadi. Kemanakah kalian wahai orang-orang yang telah mati ?

           Sore itu, angin lembut membelai permukaan kulit. Setelah melakukan kegiatan perkuliahan pagi sampai siang, seperti biasa Waki' duduk termenung di balkon rumah kosnya. Pikirannya menerawang kembali. Tanpa kesimpulan. Lalu, dia masuk ke kamarnya, berbaring di tempat tidur. Pandangannya masih menerawang. Tiba-tiba mata Waki' tertuju pada suatu buku yang ia letakkan di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Buku kecil namun tebal dengan "cover" dari plastik lentur berwarna biru. Waki' ingat, buku itu hadiah dari kakaknya ketika ia berulang tahun entah yang ke berapa.

          Waki' meraih buku itu, ia baca judulnya yang ada di "cover" nya. "Al Qur'an dan Terjemahannya". Iya memang, Waki' sudah sering lihat buku itu tergeletak di atas meja manapun yang ada di kamarnya. Entah di kamar kos yang lama, atau di kamar di rumahnya sendiri, tapi sering pula ia tidak tertarik untuk membacanya. Akan tetapi, Waki' merasa selalu butuh membawa buku itu kemanapun ia tinggal. Ia juga tak tahu mengapa. Mungkin janji pada dirinya ketika usia sebelas tahun itulah begitu menghujam dalam sanubarinya, sehingga Waki' merasa harus mempunyai pegangan hidup yang sewaktu-waktu dapat ia gunakan sebagai petunjuk.

           Waki' membaca huruf demi huruf buku Al Qur'an dan Terjemahannya. Dari Daftar Isi, kemudian Bab Satu : Sejarah Al Qur'an, lalu Bab Dua : Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallama, dan ... pada sub Bab Perlunya Al Qur'an diturunkan, Waki' terperanjat. Waki' baru faham ternyata agama-agama lain selain Islam telah kadaluarsa. Dan, agama-agama itu hanya untuk kaumnya saja, bukan untuk seluruh umat manusia. Semua agama-agama itu telah diganti dengan agama untuk seluruh umat manusia, yaitu Islam. Yang Maha Pencipta itu hanya satu, dan itu diakui oleh seluruh agama ataupun seluruh manusia. Maka, tidak mungkin Dia yang Maha Pencipta menurunkan aturan berbeda-beda untuk seluruh umat manusia di akhir zaman ini. Untuk itulah Al Qur'an diturunkan, dan Islam sebagai agama seluruh umat manusia. Subhanallah ! Waki' baru mengerti dan paham ini. Sebelumnya, ia masih memahami bahwa semua agama sama baiknya, tujuannya baik semua. Jadi, siapapun dia boleh memilih agama dan keyakinan manapun, yang penting tujuannya baik semua. Rupanya, Waki' memahami hal yang menyesatkan, yang mungkin juga diyakini oleh orang-orang yang tidak mengetahui tentang hal ini.

           Sungguh, sore ini Yang di Atas Langit sana telah memberi pengetahuan dan petunjuk pada Waki' melalui buku yang telah dibawa kemanapun ia pergi. Seolah-olah seberkas cahaya ilmu telah melesat menerobos masuk ke dalam kalbu Waki'. Kegelapan dan kesesatan telah berganti terangnya jalan menuju jalan yang lurus. Mudah-mudahan.

           Waki' berpikir, kalau demikian selain Islam betapa kasihannya mereka. Kemudian, akhirnya Waki' sangat bersyukur dan bahkan banyak-banyak bersyukur, karena ia telah dilahirkan dalam keadaan menjadi muslim. Taqdir dari atas langit telah memutuskan Waki' telah keluar dari kandungan ibunya yang muslimah dan dari ayahnya yang muslim pula. Waki' tidak perlu bersusahpayah untuk mencari agama yang benar.

           Setelah menyelesaikan bacaan bab dua buku tersebut, Waki' berhenti sejenak. Pikirannya kembali menelusup awang-awang. Waki' merasa ada sesuatu masalah lain yang sedang menghadangnya. Kemanakah ia hendak mengetahui tentang Islam ? Waki' berpikir lagi.Yang terbayang dalam benak Waki', Islam ya identik dengan masjid. Apakah ke masjid terdekat ? Atau di masjid kampus, atau kemana ?

          Sejenak, Waki teringat dahulu ketika masih sekolah di Sekolah Menengah Atas, ia pernah mendengar seorang teman perempuannya memakai jilbab ketika di sekolah. Teman perempuan itu, sering mendapat cemoohan teman-teman yang lain. Karena, seingat Waki' waktu itu hanya dia yang memakai jilbab dari seluruh murid-murid perempuan satu sekolah. Lalu, Waki' ingat bahwa ia sering melihat berita-berita televisi di rumahnya tentang kelompok Islam ini, kelompok Islam itu, dan berita tentang kesulitan-kesulitan bagi orang-orang Islam yang sepertinya mereka ingin bersungguh-sungguh dalam memegang Islam sebagai prinsip hidup mereka. Bahkan, sering lagi Waki' melihat berita-berita kekerasan, pembunuhan, dan terorisme seputar dunia Islam. Kembali timbul pertanyaan dalam kalbu Waki', apakah sesulit itu ? Apakah dia akan bertemu dengan kelompok-kelompok Islam yang begitu banyak ? Mengapa Waki' menjadi bingung ? Ya Allah berilah Waki' petunjuk.

          Setelah, hilang kebingungan Waki' akan agama mana yang paling benar. Kini, timbul kebingungan baru tentang Islam manakah yang paling benar atau yang paling mencocoki dengan apa yang telah dipahami dan dilakukan Nabi dalam Islam yaitu Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallama. Waki' yakin bahwa pasti ada segolongan orang Islam yang berusaha mencocoki kebenaran. Dan, sepertinya semua kelompok pasti mengakui yang paling benar. Belum lagi, Waki' membayangkan akan menghadapi hal-hal yang sulit, hal-hal berbau kekerasan, dan segala hal yang akan ia hadapi ketika momen-momen mengetahui dan mempelajari Islam. Akan tetapi, dalam benak Waki' tidak ada pilihan lain. Jika itu yang harus ia jalani, bagaimanalah lagi ? Tekad Waki' sudah bulat, hidup hanya sekali, ia harus menemukan jalan keselamatan, bukan jalan menuju kesengsaraan esok lusa di negeri setelah kematian. Ke Syurga, bukan ke Neraka.

           Tentang Syurga dan Neraka, ingatan Waki' tiba-tiba teringat buku cerita yang pernah ayahnya belikan ketika kelas satu SD. Tentang seorang yang sholeh yang akhirnya mendapat nikmat kubur, kiamat, mudah ketika di padang Mahsyar, mendapat buku catatan amal dengan tangan kanan, amalan baiknya lebih berat, mudah melewati jembatan Shiroth, dan akhirnya masuk Syurga dengan berbagai kenikmatannya. Waki' ingat pula dalam cerita itu ada seorang yang jahat yang akan menerima kesengsaraan-kesengsaraan ketika dicabut nyawanya, mendapat siksa kubur, sengsara di padang Mahsyar, timbangan amal kejelekan yang lebih berat, menerima catatan amal dengan tangan kiri, dan jatuh ke dalam Neraka ketika menyebrangi jembatan Shiroth. Cerita itu terpampang begitu jelasnya di depan matanya. Sehingga, makin meneguhkan dirinya untuk bersungguh-sungguh mencari jalannya.

          Lalu, Waki' ingat kembali pada pikirannya tadi, bahwa jalan yang akan ia tempuh bukanlah jalan yang mulus. Jalan yang akan Waki' arungi adalah jalan yang akan penuh rintangan aral melintang. Waki' harus siap menghadapi semua itu. Waki' harus mempersiapkan dirinya.

          Waki' dari kecil bukanlah pribadi yang kuat. Waki' dahulu adalah anak kurus yang pendiam, rendah diri dan tidak percaya diri. Waki' bukanlah sosok pribadi yang berkarakter. Waki' ingat kembali masa-masa sekolah dahulu, ia berkali-kali menjadi bulan-bulanan teman-temannya. Beberapa kali, Waki' pernah 'dikerjain' teman-temannya yang bengal. Ia pernah ditampar temannya di jalan menuju pulang ke rumah ketika kelas tiga SMP, pernah dipukul juga ketika kelas satu SMA di dalam kelas oleh temannya yang tidak naik kelas dua. Bahkan, Waki' pernah dipukuli oleh teman-teman bengal kelas tiga SMA ketika ada acara naik gunung, di atas gunung itulah ia dipukuli. Padahal, Waki' tidak salah apa-apa, hanya karena badannya 'cungkring' dan teman-temannya itulah yang 'sok jago'. Waki' menyesal, ini semua karena ia tidak pernah diajari oleh orang tuanya untuk membela diri. Ia tidak tahu menahu bagaimana menghadapi situasi-situasi seperti itu.

          Demi mengingat masa-masa Waki' yang selalu dizhalimi teman-temannya, dan sekarang ia akan menerjang jalan yang penuh dengan onak dan duri, Waki' berniat sungguh-sungguh untuk membekali diri. Ia musti mencambuk dirinya dengan belajar bela diri. Ya ! Waki' mau tidak mau musti belajar ilmu itu. (SsS)

***


Author

www.sketsarumah.com

Sederhana itu Lebih - Less is More. Desain bukanlah menambah-nambah biar berfungsi, tetapi desain adalah menyederhanakan agar berdaya guna.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...